Dinilai Memberatkan Nelayan, KKP Merevisi Tarif PNBP Pascaproduksi

:


Oleh Baheramsyah, Kamis, 19 Januari 2023 | 18:16 WIB - Redaktur: Untung S - 417


Jakarta, InfoPublik - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) akan merevisi penyesuaian besaran indeks tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pasca-produksi, yang ditentang masyarakat nelayan dan pelaku usaha perikanan di berbagai daerah di Indonesia yang dinilai sangat memberatkan.

Direktur Perizinan dan Kenelayanan Ditjen Perikanan Tangkap KKP, Ukon Ahmad Furqon, mengatakan saat ini KKP tengah mengajukan proses revisi kepada Kementerian Keuangan (Kemenkeu), terutama berkaitan pada indeks tarif kapal berukuran 60 GT ke atas yang sebelumnya ditetapkan sebesar 10 persen, semetsra untuk kapal 60 GT ditetapkan 5 persen.

Dalam prosesnya kita harapkan itu bisa segera cepat selesai, namun demikian karena memang levelnya adalah peraturan pemerintah. Jadi ini satu level di bawah UU sehingga di dalam pembahasannya tetap membutuhkan waktu sampai dengan diundangkan.

Sementara itu selama proses pengajuan revisi PP Nomor 85 Tahun 2021 dilakukan, KKP juga menampung aspirasi nelayan serta pelaku usaha terkait mempertimbangkan biaya operasional atau harga pokok produksi dalam menentukan besaran indeks tarif PNBP pascaproduksi.

"Ini yang kita serap untuk kita perbaiki di dalam revisi PP 85 tahun 2021. Prosesnya revisinya saat ini sedang berjalan," kata Ukon dalam diskusi Bincang Bahari dengan tema "Pengaturan PNBP Pasca Produksi" di Jakarta, Kamis (19/1/2023).

Dia memastikan, pihaknya telah berdiskusi dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terkait revisi aturan ini. Menurutnya, Kemenkeu juga mendukung revisi besaran tarif tersebut.

Ia berharap prosesnya dapat segera selesai. Meski demikian, dia mengingatkan aturan yang direvisi ini berbentuk Peraturan Pemerintah (PP) sehingga membutuhkan waktu sampai diundangkan.

Dia menjamin, dalam prosesnya pemerintah akan melibatkan nelayan-nelayan, utamanya mereka yang mengambil izin menangkap ikan di pusat. Seperti nelayan-nelayan di kawasan Pantai Utara Jawa (Pantura), Bali dan DKI Jakarta.

"Namun demikian karena memang levelnya adalah peraturan pemerintah. Jadi kalau di dalam urutan peraturan perundang-undangan di negeri kita ini ada UU kemudian dibawahnya peraturan pemerintah kemudian dibawahnya itu adalah perpres baru ke permen," jelasnya.

"Jadi itu satu level dibawah UU sehingga di dalam pembahasannya tetap membutuhkan waktu sampai dengan diundangkan," ucapnya.

Sementara itu, sembari menunggu proses revisi pihaknya menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 1 Tahun 2023 tentang Tata Cara Penetapan Nilai Produksi Ikan pada Saat Didaratkan. Hal ini agar Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) para nelayan dan pelaku usaha bisa diterbitkan.

Adapun isinya mengatur soal besaran PNBP yang harus dibayarkan nelayan atau pelaku usaha dengan rumus volume ikan per kilogram dikali harga acuan ikan dengan mempertimbangkan biaya operasionalnya. Ia menekankan harga acuan ikan ini akan segera diterbitkan dalam waktu dekat dan bersifat dinamis atau dapat dilakukan evaluasi kapanpun.

"Jadi kalau yang sebelumnya harga acuan ikan itu adalah harga jual, kotor sebelum dikurangi biaya operasional. Nah yang sekarang ini harga jual dikurangi HPP dan prosesnya berjalan dengan lancar," ujarnya

Sebelumnya Direktur Jenderal Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Muhammad Zaini menuturkan, nelayan mengalami keberatan terkait besaran penarikan PNBP ini lantaran adanya kenaikan harga BBM pada September 2022.

"Sebenarnya mereka tahun lalu itu sudah bayar, tapi karena ada kenaikan BBM yang luar biasa, mereka (nelayan) jadi keberatan dengan indeks itu," ujar Muhammad Zaini.

KKP sendiri telah merespons dengan melakukan langkah-langkah merevisi aturan yang terkandung dalam PP Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak. Namun demikian, revisi dari beleid ini masih memerlukan waktu untuk proses pengerjaannya.

Foto: Istimewa

 

-->