- Oleh Wahyu Sudoyo
- Jumat, 29 Agustus 2025 | 18:44 WIB
: Petugas merapikan barang bukti telepon pintar rakitan saat pengungkapan hasil pengawasan produk impor di Cengkareng, Jakarta, Rabu (23/7/2025). Kementerian Perdagangan menyita 5.100 unit telepon pintar rakitan bekas dan 747 koli aksesori gawai yang diduga merupakan hasil impor ilegal dari China dan dipasarkan melalui sejumlah platform e-commerce dengan total nilai temuan mencapai Rp17,6 miliar. ANTARA FOTO/Putra M. Akbar/nym.
Oleh Pasha Yudha Ernowo, Sabtu, 26 Juli 2025 | 16:55 WIB - Redaktur: Untung S - 385
Jakarta, InfoPublik — Asosiasi Pengusaha TIK Nasional (APTIKNAS) mengingatkan bahwa rencana transfer data pribadi warga Indonesia ke Amerika Serikat (AS) yang menjadi bagian dari kesepakatan perdagangan kedua negara harus tetap mematuhi Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) No. 27 Tahun 2022.
Ketua Komite Tetap Kewaspadaan Keamanan Siber APTIKNAS, Alfons Tanujaya, menegaskan bahwa izin pemindahan data tidak boleh mengabaikan prinsip-prinsip kedaulatan digital dan perlindungan privasi.
“Jika pemerintah RI benar-benar mengizinkan data masyarakat disimpan di AS, maka perusahaan AS wajib tunduk pada UU PDP Indonesia serta bersedia diaudit oleh Komisi PDP,” tegas Alfons saat dikutip dari Antara, Sabtu (26/7/2025).
Alfons juga menekankan pentingnya enkripsi kuat terhadap data yang ditransfer dan larangan akses tanpa persetujuan eksplisit. Ia juga mendorong terbentuknya perjanjian bilateral khusus antara Indonesia dan AS untuk mencegah penyalahgunaan oleh otoritas asing.
“Keamanan data bukan soal di mana disimpan, tapi bagaimana disimpan. Dengan enkripsi dan manajemen kunci yang baik, data aman bahkan jika disimpan di luar negeri,” jelasnya.
Alfons juga menyoroti bahwa secara hukum tertulis, UU PDP Indonesia jauh lebih komprehensif dibanding Amerika Serikat. PP No. 71 Tahun 2019 dan UU PDP memperbolehkan transfer data ke luar negeri asalkan negara tujuan memiliki sistem perlindungan data yang setara atau lebih tinggi.
Namun, dari sisi penegakan hukum dan budaya kepatuhan, AS dinilai masih lebih matang. Ia menyebut contoh tindakan serius yang dilakukan otoritas AS dalam kasus kebocoran data, seperti gugatan class-action, investigasi Kongres, dan denda besar.
Sementara itu, Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid menegaskan bahwa kesepakatan perdagangan dengan AS bukan bentuk penyerahan data pribadi secara bebas.
“Kesepakatan ini menjadi dasar legal bagi perlindungan data warga Indonesia yang menggunakan layanan digital perusahaan berbasis di AS, seperti media sosial, cloud, hingga e-commerce,” jelas Meutya.
Meutya menambahkan bahwa tata kelola lalu lintas data akan dilakukan secara aman, sah, dan terukur, sejalan dengan standar perlindungan data global.