- Oleh Putri
- Sabtu, 30 Agustus 2025 | 13:36 WIB
: Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa saat berbicara dalam LPS Financial Festival di Medan, Sumatra Utara, Rabu (20/8/2025). (Foto: Ismadi Amrin/InfoPublik)
Oleh Ismadi Amrin, Rabu, 20 Agustus 2025 | 16:11 WIB - Redaktur: Kristantyo Wisnubroto - 244
Medan, InfoPublik - Ketidakpastian terutama yang bersumber dari faktor eksternal hampir mewarnai perekonomian nasional setiap tahun. Selagi Pemerintah mampu menjaga dan mengelola permintaan domestik, maka optimisme perekonomian akan tumbuh sangat terbuka.
Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa dalam acara LPS Financial Festival di Medan, Sumatra Utara, Rabu (20/8/2025) mengatakan Indonesia terbukti mampu melalui berbagai krisis ekonomi global, ketika menggunakan jurus "kearifan lokal" atau local wisdom.
"Jurus local wisdom itu bahkan sudah diperkenalkan jauh sebelum Indonesia Merdeka oleh Profesor Soemitro Djojohadikusumo tepatnya pada tahun 1943," kata Purbaya.
Soemitro, sebut Purbaya dalam disertasinya mengenalkan trilogi pembangunan yang menekankan pada tiga pilar, yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pemerataan manfaat pembangunan, dan stabilitas nasional yang dinamis.
Dalam konteks trilogi itu, Menteri Keuangan RI 1955-1956 Prof Soemitro Djojohadikusumo menekankan pentingnya stabilitas perbankan. Begawan ekonomi nasional itu mengambil pelajaran dari "The Great Depression" tahun 1920-an akhir di Amerika Serikat (AS), dan dampaknya pada perekonomian Indonesia kala itu.
Jurus kearifan lokal ala Soemitronomics itu, kata Purbaya sudah terbukti ampuh meredam dampak krisis ekonomi global.
Purbaya mencontohkan saat krisis ekonomi global 2008 akibat subprime mortgage di AS dan saat pandemi Covid-19 tahun 2020-2021, ekonomi Indonesia cepat pulih karena bertumpu pada domestik demand. "Respons kebijakan ekinomi pada 2008 tepat karena aktivitas ekonomi tetap jalan yang ditopang oleh ketersediaan likuiditas melalui uang beredar yang tumbuh'," kata Purbaya.
Situasi yang sama juga berlaku saat Pandemi Covid-19. Meskipun saat itu hampir kolaps, tetapi pemerintah cepat mengubah dan merespons dengan pelonggaran secara terbatas, sehingga RI sukses keluar dari resesi dan kembali tumbuh positif seperti pada 2009 dengan tumbuh 4,9 persen. "Pada 2020 juga kita pakai ilmu yang sejenis, karena sudah pintar yaitu menjaga domestic demand," kata Ketua Dewan Komisioner LPS.
Kondisi tersebut berbeda saat krisiis moneter 1997-1998. Saat itu kata Purbaya, respons kebijakan membingungkan karena suku bunga naik hingga 60 persen, sementara uang beredar tumbuh lebih dari 100 persen.
Dampaknya dengan suku bunga tinggi, tidak ada pelaku usaha yang berani meminjam ke bank. Sebaliknya, uang beredar yang melimpah dipakai menyerang rupiah kembali. "Kebijakan yang membingungkan itu memberi bahan bakar menyerang rupiah kita," kata Purbaya.
Dari tiga krisis tersebut jelas Purbaya, dua diantaranya yaitu krisis global 2008 dan pandemi Covid-19 bisa dilalui dengan baik karena menggunakan pendekatan local wisdom, sedangkan krisis 1998 menyisakan celah yang dalam karena menggunakan resep dari luar. "Jadi kita sudah punya modal yang besar, tinggal di manage dengan baik. Fokus pada diri sendiri dengan memanfaatkan domestik demand," kata Purbaya.
Kalau pemerintah menargetkan ekonomi tahun 2026 tumbuh 5,4 persen, Purbaya Yudhi Sadewa menilai itu sangat realistis. Apalagi, jika dioptimalkan dengan dukungan pertumbuhan ekonomi dari daerah. "Ekonomi dari pasar, sawah dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) itu merupakan penopang ekonomi nasional," kata Purbaya.
Merujuk perfoma ekonomi Sumatra Utara, tambah Purbaya, relatif lebih kuat dalam menopang perekonomian nasional. Apalagi bertumpu pada sektor perkebunan dan pariwisata yang termasuk sektor padat karya, sehingga mampu menyerap banyak tenaga kerja.