- Oleh MC KOTA TIDORE
- Jumat, 27 Oktober 2023 | 16:25 WIB
:
Oleh MC PROV KALIMANTAN BARAT, Kamis, 26 Juni 2025 | 21:35 WIB - Redaktur: Untung S - 181
Kapuas Hulu, InfoPublik – Suasana khidmat menyelimuti Dusun Nanga Entibab, Kecamatan Silat Hulu, ketika Wakil Gubernur Kalimantan Barat (Kalbar) Krisantus Kurniawan memukul gong penutup Gawai Dayak IX Entibab Ningkau Kandau Bedangkan, Rabu (25/6/2025).
Bunyi gong yang bergema di tengah hutan Kalimantan itu bukan sekadar tanda berakhirnya perayaan, melainkan simbol penghormatan terhadap warisan leluhur yang terus hidup di tengah modernisasi.
Perhelatan selama tiga hari ini menjadi saksi betapa kukuhnya masyarakat Dayak mempertahankan tradisi turun-temurun. Ritual Ngangau (pemanggilan roh leluhur) dan Ngalangka (penyembahan kepada Jubata/Tuhan) mengawali rangkaian acara, diikuti tarian Gantar yang menggambarkan siklus hidup dari bercocok tanam hingga panen.
"Ini adalah bahasa universal masyarakat Dayak dalam menyampaikan rasa syukur," ujar Yohanes, tetua adat setempat.
Dalam pidato penutupannya, Wagub Krisantus Kurniawan menekankan bahwa Gawai Dayak harus dipahami sebagai living museum budaya Kalbar. "Setiap gerak tari, setiap mantra yang dilantunkan, setiap ukiran di rumah betang adalah ensiklopedia hidup yang harus kita wariskan," tegasnya di hadapan ribuan peserta yang masih mengenakan pakaian adat lengkap dengan aksesoris manik-manik dan bulu burung enggang.
Wagub menyoroti pentingnya pendekatan kreatif dalam pelestarian budaya. "Kita perlu mentransformasi nilai-nilai luhur ini dalam bentuk yang relevan bagi generasi muda. Bisa melalui digitalisasi cerita rakyat, workshop seni kontemporer berbasis motif tradisional, atau even budaya yang lebih partisipatif," paparnya.
Ia mengapresiasi inisiatif panitia yang menyelenggarakan lomba konten kreatif budaya Dayak bagi pelajar selama gawai berlangsung.
Tahun ini, Gawai Dayak IX mencatat sejarah dengan partisipasi lintas etnis yang belum pernah terjadi sebelumnya. Masyarakat Melayu, Tionghoa, dan Madura turut serta dalam prosesi adat, membuktikan budaya Dayak bisa menjadi perekat sosial.
"Kami sengaja mengundang tetangga dari berbagai latar belakang. Inilah Kalbar sesungguhnya - beragam tapi bersatu," ujar Markus, ketua panitia.
Di sisi lain, acara ini juga menjadi ajang refleksi. Dr. Arit Simangunsong, antropolog Universitas Tanjungpura, mengingatkan: "Gawai bukan sekadar festival. Ia adalah sistem pengetahuan ekologis. Setiap ritual mengandung petunjuk pengelolaan hutan berkelanjutan yang justru kini mulai dilupakan."
Sebagai penutup, Wagub Krisantus menyerukan komitmen kolektif. "Mari jadikan Gawai Dayak sebagai momentum renaisans budaya. Pemerintah akan dukung melalui kurikulum muatan lokal, pembangunan sanggar seni, dan promosi wisata budaya yang berkelanjutan."
Pesan itu disambut gemuruh Tariu (peperangan) yang dibawakan 50 penari sebagai simbol semangat pantang menyerah masyarakat Dayak. (adpim)