- Oleh MC KAB SUMENEP
- Sabtu, 30 Agustus 2025 | 00:08 WIB
:
Oleh MC KAB SUMENEP, Rabu, 16 Juli 2025 | 21:52 WIB - Redaktur: Pasha Yudha Ernowo - 195
Sumenep, InfoPublik – Tidak hanya merayakan budaya, Festival Tete Masa Nabur Belta di Desa Juluk, Kecamatan Saronggi, Kabupaten Sumenep, menjadi bukti bahwa tradisi lokal dapat bersinergi dengan sektor pertanian, wisata, dan penguatan ekonomi masyarakat desa.
Digelar pada Selasa (15/7/2025), festival ini bukan sekadar seremoni menabur benih tembakau (tete masa), tetapi mencerminkan semangat gotong royong, pelestarian budaya, sekaligus inovasi pengembangan desa berbasis kearifan lokal. Dalam festival ini, masyarakat menunjukkan bahwa menjaga tradisi tidak bertentangan dengan kemajuan, melainkan menjadi fondasi pengembangan daerah yang berkelanjutan.
Wakil Bupati Sumenep, KH. Imam Hasyim, yang hadir langsung dalam kegiatan tersebut, menekankan pentingnya mempertahankan warisan budaya seperti tete masa sebagai identitas kolektif masyarakat Madura.
“Festival ini bukan hanya perayaan tradisi, tapi juga momentum edukasi generasi muda agar mencintai akar budayanya. Ini adalah modal sosial yang harus terus kita jaga,” ujarnya.
Wakil Bupati juga mengapresiasi kolaborasi antara masyarakat, kelompok tani, dan pelaku budaya yang berhasil menghadirkan kegiatan komprehensif: mulai dari atraksi 42 jaran serek (kuda hias tradisional), prosesi penanaman benih, pameran produk pertanian, diskusi tematik pertanian, hingga pengajian akbar yang menjadi penutup penuh makna.
Festival ini mencerminkan strategi cerdas dalam menyatukan dua hal yang selama ini menjadi kekuatan desa: budaya dan pertanian. Di tengah tantangan modernisasi dan perubahan gaya hidup, Desa Juluk justru memilih untuk membumikan tradisi melalui pendekatan partisipatif dan produktif.
“Festival Tete Masa adalah contoh konkret bagaimana pertanian bisa menjadi bagian dari narasi budaya. Saat masyarakat menabur benih tembakau, sesungguhnya mereka juga sedang menanam semangat untuk menjaga jati diri dan kemandirian ekonomi,” lanjut Wakil Bupati.
Lebih dari itu, Festival Tete Masa memiliki efek domino positif terhadap ekonomi lokal. Produk kelompok tani dan UMKM yang dipamerkan menjadi pusat perhatian pengunjung. Wisatawan lokal yang datang bukan hanya menikmati atraksi, tetapi juga membeli produk unggulan desa.
Hal ini membuktikan bahwa pariwisata berbasis budaya tidak hanya soal tontonan, tapi juga soal pemberdayaan.
“Festival ini adalah strategi pengembangan desa yang menyentuh banyak aspek—dari pelestarian budaya, edukasi masyarakat, hingga penguatan ekonomi. Ini perlu terus dilanjutkan dan diperluas,” pungkas KH. Imam Hasyim.
Festival Tete Masa menunjukkan bahwa pelestarian budaya bukanlah romantisme masa lalu, tetapi investasi sosial masa depan. Ketika generasi muda diajak terlibat dalam tradisi, ketika petani dilibatkan sebagai pelaku utama, dan ketika budaya dipadukan dengan ekonomi kreatif, maka desa tidak hanya hidup—tetapi juga berkembang secara mandiri dan berkelanjutan.
Desa Juluk telah memberi contoh: bahwa menabur benih tembakau juga bisa berarti menabur harapan baru bagi masa depan desa. (Yasik/Fer)