- Oleh MC KOTA PONTIANAK
- Kamis, 28 Agustus 2025 | 15:52 WIB
:
Oleh MC KOTA PONTIANAK, Kamis, 24 Juli 2025 | 21:28 WIB - Redaktur: Untung S - 140
Pontianak, InfoPublik – Kebijakan pemberlakuan jam malam bagi anak di Kota Pontianak tidak hanya membutuhkan pendekatan regulasi, tetapi juga pemahaman mendalam tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dari perspektif perlindungan anak.
Hal itu menjadi fokus utama dalam Sosialisasi Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) 2025 yang digelar Pemerintah Kota Pontianak melalui Bagian Hukum Sekretariat Daerah, Kamis (24/7/2025).
Dengan tema “Kebijakan Jam Malam bagi Anak Ditinjau dari Perspektif HAM”, kegiatan itu melibatkan akademisi dan praktisi hukum untuk memberikan analisis komprehensif sekaligus masukan konstruktif bagi kebijakan yang berpihak pada kepentingan terbaik anak.
Sekretaris Daerah Kota Pontianak, Amirullah, menegaskan bahwa perlindungan anak harus sejalan dengan prinsip-prinsip HAM. Meskipun kebijakan jam malam bertujuan melindungi anak dari aktivitas berisiko di malam hari, implementasinya harus dilakukan dengan kehati-hatian agar tidak justru melanggar hak-hak dasar mereka.
“Setiap anak memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang, termasuk dalam ruang sosial. Pembatasan seperti jam malam harus dipastikan tidak menimbulkan diskriminasi atau stigmatisasi,” tegasnya.
Amirullah juga mengingatkan bahwa perlindungan anak telah dijamin dalam berbagai regulasi, mulai dari UUD 1945 Pasal 28B Ayat 2 hingga Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2022 tentang Perlindungan Anak.
“Prinsip the best interest of the child harus menjadi landasan utama dalam setiap kebijakan terkait anak, termasuk dalam penerapan jam malam,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa perlindungan anak mencakup hak hidup, tumbuh kembang, partisipasi, serta bebas dari kekerasan dan eksploitasi.
Kegiatan itu menghadirkan narasumber dari kalangan akademisi, termasuk Dr. Nur Hadianto dari Universitas PGRI Pontianak dan Dr. Budi Hermawan Bangun dari Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura.
Kehadiran mereka memberikan perspektif akademis yang kritis terhadap kebijakan publik, sekaligus memperkuat pemahaman peserta mengenai kerangka hukum perlindungan anak di Indonesia.
Amirullah berharap sosialisasi ini tidak hanya menjadi ajang edukasi, tetapi juga wadah untuk merumuskan kebijakan yang lebih inklusif dan berbasis HAM. “Ini bukan sekadar persoalan aturan, melainkan tanggung jawab bersama untuk memastikan masa depan anak-anak kita terlindungi,” pungkasnya.
Kolaborasi antara akademisi, praktisi hukum, dan pemerintah itu diharapkan dapat memperkuat implementasi RANHAM 2025, khususnya dalam perlindungan hak anak di Kalimantan Barat.
Dengan pendekatan berbasis regulasi dan prinsip HAM, kebijakan seperti jam malam anak di Pontianak diharapkan dapat lebih efektif tanpa mengabaikan hak-hak dasar anak. (prokopim)