: Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan anak dan Keluarga Berencana (DP2KB) Kabupaten Simeulue, Supriman Juliansyah SPi MM, saat menjelaskan kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan. (Ahmadi/MC Aceh)
Oleh MC PROV ACEH, Rabu, 22 Januari 2025 | 09:56 WIB - Redaktur: Juli - 297
Sinabang, InfoPublik - Kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan, serta tersedianya fasilitas khusus kota layak dan ramah anak, menjadi salah satu penentu identitas dan tolak ukur citra kebijakan pemerintah daerah.
Data yang diterima dari Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan anak dan Keluarga Berencana (DP2KB) Kabupaten Simeulue, yang merilis angka kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan, dalam dua tahun terakhir, yakni 2023 dan 2024.
Dalam rilis data resmi DP2KB Kabupaten Simeulue, pada 2023 bahwa yang paling banyak kasus kekerasan dengan korban yang didominasi terhadap anak, sebanyak 16 kasus, serta tahun 2024 sebanyak 17 kasus dan sudah termasuk satu kasus dengan korban perempuan.
Disebutkan dari 33 kasus yang terjadi selama dua tahun itu, untuk kasus kekerasan yang menyasar terhadap anak-anak tersebut, dengan pelaku yang didominasi pria dewasa yang melakukan perbuatan pelecehan seksual, pencabulan, pemerkosaan dan penganiayaan serta satu kasus jinayah dengan korban kaum perempuan.
Kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan itu, dijelaskan Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan anak dan Keluarga Berencana (DP2KB) Kabupaten Simeulue, Supriman Juliansyah, Selasa (21/1/2025).
"Kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan di Kabupaten Simeulue, untuk tahun 2023 ada 16 kasus kekerasan terhadap anak. Dan tahun 2024 ada 17 kasus, dengan rincian 16 kasus kekerasan terhadap anak, dan satu kasus jinayah terhadap perempuan. Dengan rata-rata pelaku, yakni pria dewasa," kata Supriman Juliansyah.
Supriman Juliansyah menyebutkan, yang menduga masih banyak kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan yang tidak dilaporkan, karena masih ada masyarakat yang beranggapan "aib", dan memilih "berdamai" sehingga tidak dilaporkan atau di informasikan kepada DP2KB Kabupaten Simeulue.
Kendala yang dihadapi saat ini sebut Supriman Juliansyah, dengan kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan, pihak DP2KB Kabupaten Simeulue belum memiliki fasilitas yang standar untuk penampungan korban serta tidak tersedianya tenaga khusus yang profesi psikolog.
Sehingga pihak DP2KB Simeulue, harus mendatangkan tenaga profesi dari luar daerah, yang membutuhkan biaya Rp20 juta untuk satu kasus, sebab tenaga profesi psikolog yang khusus pada penanganan kasus kejiwaan, diagnosis gejala psikologis, psikoterapi, perilaku, fungsi mental, dan proses mental manusia.
Kepala DP2KB Simeulue juga menghimbau kepada masyarakat dan orang tua untuk meningkatkan pengawasan terhadap anak-anaknya, serta juga menjamin kerahasiaan identitas setiap warga yang melaporkan atau memberitahukan, bila mengetahui dan melihat aksi kekerasan terhadap anak dan perempuan. (MC Aceh/01)