- Oleh Ismadi Amrin
- Selasa, 12 Agustus 2025 | 06:30 WIB
: Warga menjemur pakaian di Rumah Susun Bidara Cina, Jakarta, Senin (28/7/2025). Kementerian Perumahan dan Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung mengatakan bahwa peningkatan akses hunian layak pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tahun 2025-2029 masih mengandalkan penataan kawasan rukun warga (RW) kumuh dan pembangunan hunian vertikal baik berupa sewa maupun milik. (ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin/bar)
Oleh Ismadi Amrin, Kamis, 7 Agustus 2025 | 18:40 WIB - Redaktur: Kristantyo Wisnubroto - 193
Surabaya, InfoPublik - Singapura berhasil menjadi salah satu negara dengan sistem perumahan paling efektif di dunia. Di tengah keterbatasan lahan dan tingginya kepadatan penduduk, negara kota ini tidak hanya mampu menyediakan hunian layak bagi sebagian besar warganya, tetapi juga membangun lingkungan yang terintegrasi, hijau, dan berkelanjutan.
Salah satu kunci sukses pembangunan hunian di Singapura terletak pada pendekatan perencanaan yang terpusat. Otoritas Perumahan dan Pembangunan atau Housing & Development Board (HDB) menjadi lembaga utama yang merancang, membangun, dan mengelola perumahan publik sejak 1960.
Berbeda dengan banyak negara lain, di mana pembangunan perumahan dikelola oleh sektor swasta, pemerintah Singapura mengambil peran dominan dalam menyediakan hunian. Sekitar 80 persen warga Singapura tinggal di perumahan HDB, dan lebih dari 90 persen dari mereka memiliki unitnya sendiri berkat program subsidi dan skema kepemilikan jangka panjang.
Apa yang pertama terlintas di pikiran ketika mendengar kata Singapura? Sepakat atau tidak, Singapura adalah sebuah negara kota yang modern. Atau, kota yang maju, destinasi wisata perkotaan, pusat belanja, dan lain sebagainya yang mencirikan berbagai hal tentang impian masyarakat urban.
Pertanyaan berikutnya, pernahkah negeri itu menghadapi pesoalan kota di masa lalu? Jawabnya pernah, yakni di awal kemerdekaan negara pulau bekas koloni Inggris tersebut. Sekilas tentang Singapura, Imperium Britania menguasai wilayah Semanjung Malaka, termasuk pulau-pulau kecil sekitar sejak 1826. Sempat Jepang digjaya selama Perang Dunia II (1939-1945).
Ketika Kekaisaran Jepang menyerah kepada Sekutu, sempat terjadi anomie atau ketiadaan norma sosial dan kebingungan rakyat di Singapura. Pasukan Inggris kembali, namun itu tidak membuat kondisi lebih baik, sebab banyak infrastruktur telah hancur, termasuk sistem kelistrikan, pasokan air, serta berbagai fasilitas lainnya.
Ketidakpastian berlanjut hingga penguasaan Inggris berakhir, Singapura lalu menjadi bagian dari Malaysia (1963). Dua tahun kemudian, pada 9 Agustus 1965, Singapura dikeluarkan dari Federasi Malaysia menjadi Republik Singapura yang merdeka. Bertahun-tahun kekacauan negeri tentu berdampak pada sektor pemukiman.
Meski pembangunan perumahan umum sudah digagas oleh pemerintahan Inggris sejak 1920, titik balik baru terjadi pada 1960, ketika Dewan Pengembangan Perumahan (HDB) didirikan dengan target dalam tiga tahun membangun 31.000 flat. Dengan Slogan 'sedikit bicara, banyak kerja', ratusan ribu orang dipindahkan dari kampung-kampung kumuh ke flat-flat yang dibangun HDB.
Berkorban Demi Negara
Tak semudah membalik telapak tangan. Singapura sempat berkelindan dengan sulitnya mengubah mindset masyarakat untuk meninggalkan zona nyaman rumah tapak ke gaya hidup baru tinggal di flat. Seperti dilaporkan BBC News, bagi kelompok masyarakat yang selama ini tinggal di lahan sempit milik pemerintah dan harus berbagi ruang, tak punya listrik atau WC, tentu pindah ke flat HDB merupakan berkah.
Namun, tak sedikit kelompok yang tak suka, merasa terusir dari kampung tempat puluhan tahun mereka tinggal. Menghadapi situasi ini, tetap dengan slogan 'sedikit bicara, banyak kerja' otoritas Singapura tegas mengimplementasikan regulasi akuisisi lahan. Perdana Menteri Lee Kuan Yew memang memiliki jurus “sedikit memaksa” yang memungkinkan pemerintah membeli lahan masyarakat untuk proyek perumahan dengan harga murah.
Bagi kelompok yang menolak, diberikan pemahaman bahwa mereka harus berkorban demi negara. Bukan pengorbanan sia-sia, sebab negara benar-benar menyiapkan segala sesuatunya, sehingga ketika pindah ke flat HDB dipastikan lebih enak, bersih, dan nyaman.
Setelah beberapa dekade pembangunan intensif, Singapura kini punya lebih dari satu juta flat di 23 kawasan kota. Pada 1960, hanya 9 persen orang Singapura tinggal di perumahan publik. Kini, angka itu berubah menjadi 90 persen warga memiliki rumah flat.
Kuncinya ada pada program pemerintah untuk menyiapkan hunian layak dengan harga yang murah. “Harga rumah itu bukan karena teknologi dan konstruksinya, tapi karena harga tanah yang tidak masuk akal, sehingga tanah memang harus distabilisasi oleh pemerintah,” ujar Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Pemukiman (PKP) Fahri Hamzah usai menjadi narasumber Diskusi Publik bertema Rumah untuk Semua: Strategi Pemerintah Mempercepat Akses Hunian Layak, Rabu (6/8/2025).
Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka telah merancang strategi pemanfaatan aset-aset negara berupa tanah kosong di kawasan kota besar. Lahan-lahan ini direncanakan akan digunakan untuk pembangunan hunian vertikal.
“Presiden mendorong kita menggunakan tanah negara atau dalam konsep sewa jangka panjang yang bisa terjangkau, sehingga dengan harga tanah nol, tinggal konstruksi, banyak rumah yang bisa dibangun untuk tipe 36 dengan harga cuma Rp60 juta,” jelas Wamen PKP.
Offtaker
Wamen Fahri Hamzah kemudian menyitir keberhasilan pemerintah Singapura, melalui waktu puluhan tahun, akhirnya bisa selesai urusan perumahan ini. Sebenarnya, ujar Fahri lagi, strategi yang dijalankan Lee Kuan Yew itu belajar dari Indonesia.
Dalam konteks berbeda, sudah jadi rahasia umum, Malaysia pernah belajar sistem pendidikan dari Indonesia. Terutama dalam hal pengiriman guru dan penerapan kurikulum. Bagaimana dengan perumahan? Kali ini bukan Malaysia.
Fahri menceritakan kala Suharso Manoarfa sebagai Menteri Perumahan melakukan studi banding ke Singapura. “Pak Manoarfa pernah tanya ke PM Lee, dijawab ide pemerintah Singapura dalam membangun perumahan itu belajar dari Soemitro Djojohadikoesoemo dan Margono Djojohadikoesoemo yang keduanya adalah ayah dan kakek dari Presiden kita,” kata Wamen PKP dalam diskusi yang digelar Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) bersama Relawan Gatot Kaca.
Ide yang dimaksud adalah membangun perumahan berbasis kepada keanggotaan dan sistem pembiayaan universial yang dilahirkan oleh kedua Begawan ekonomi Indonesia tersebut.
Secara umum, menukil dari perkim.id, sistem pembiayaan perumahan adalah mekanisme dan proses yang melibatkan berbagai pelaku dalam mengalirkan dana dari pihak pemilik dana (investor) ke yang membutuhkan pendanaan (peminjam) untuk memenuhi kebutuhan dan atau memiliki hunian.
Dikutip dari urbanstrategies.com, pemerintah Singapura kerap membuka kesempatan bebagai profesional di bidang perumahan untuk terlibat dalam kerjasama yang dikomandoi HDB.
Semisal, otoritas pengembangan perkotaan Singapura mengundang firma internasional untuk konsep inovatif transformasi jangka panjang waterfront city sebelah selatan Singapura. Firma pemenang tender nantinya hanya membangun tanpa dipusingkan oleh urusan lahan yang sejak awal sudah diselesaikan pemerintah.
Prinsipnya, pemerintah menyiapkan lahan, lalu ada offtaker yang memerankan diri sebagai pihak yang bisa menjamin pembangunan perumahan berjalan lancar dengan biaya murah tanpa harus terbebani harga lahan.
“Setelah saya teliti di banyak negara, memang harus ada offtaker. Ide pembangunan perumahan tertua di Indonesia 1952 berbasis kepada keanggotaan dan sistem pembiayaan universial. Jadi sebenarnya sudah ada, tinggal kita jalankan saja. Kita mesti mengatur kehidupan kembali. Ada banyak teknologi rumah vertikal dan itu tidak mahal,” tandas Fahri.