- Oleh MC KAB BLORA
- Jumat, 29 Agustus 2025 | 17:50 WIB
: Petugas Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kota Banda Aceh manata Kartu Identitas Anak (KIA) di Banda Aceh, Aceh, Kamis (24/7/2025). Disdukcapil Kota Banda Aceh menyebutkan sebanyak 86,87 persen atau 74.320 orang dari 83.254 orang anak berusia 0-16 tahun telah memiliki KIA. ANTARA FOTO / Irwansyah Putra/bar
Oleh Pasha Yudha Ernowo, Sabtu, 26 Juli 2025 | 16:45 WIB - Redaktur: Untung S - 273
Jakarta, InfoPublik — Isyarat dari Gedung Putih bahwa Indonesia akan memberi kepastian terhadap mekanisme transfer data pribadi ke Amerika Serikat memantik diskursus penting tentang masa depan kedaulatan digital Tanah Air. Namun hal itu tidak perlu dikhawatirkan karena Indonesia sudah mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) sebagai fondasi hukum.
Menurut Pratama Persadha, Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC, kesepakatan itu bukan sekadar isu teknis perdagangan digital, tetapi pertarungan kepentingan strategis yang akan menentukan posisi Indonesia dalam tatanan digital global.
“Ini bukan hanya soal teknokrasi, tapi juga geopolitik data,” ujar Pratama, dalam keterangannya ke Infopublik, Sabtu (26/7/2025).
Lanjutnya, keterbukaan terhadap arus data global memang perlu untuk mendorong transformasi digital nasional. Namun, hal itu tidak boleh mengorbankan prinsip kedaulatan digital—hak negara untuk mengatur dan melindungi data warganya di bawah kerangka hukum nasional.
Pratama menyoroti pentingnya implementasi Undang-Undang No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) sebagai fondasi hukum. Meski UU ini membuka ruang transfer data lintas batas, hanya negara dengan standar perlindungan sepadan atau lebih tinggi yang bisa menjadi tujuan pengiriman data.
“Amerika Serikat sendiri hingga kini belum punya undang-undang federal yang sebanding dengan GDPR di Eropa. Ini harus jadi perhatian,” ujarnya.
Pratama juga menegaskan pentingnya percepatan penyusunan Peraturan Pemerintah (PP PDP) serta pembentukan Lembaga Pengawas Perlindungan Data Pribadi (LPPDP). Lembaga ini harus independen dan berwenang untuk mengevaluasi objektivitas negara tujuan transfer data, termasuk AS.
Transfer data ke luar negeri menyimpan potensi risiko besar—terutama saat data digunakan oleh perusahaan atau badan intelijen asing. Namun, Pratama menegaskan, menutup diri bukanlah pilihan. Sebaliknya, Indonesia harus memimpin dengan merumuskan standar evaluasi objektif dan menyusun kesepakatan bilateral yang menjamin hak-hak digital warga negara tetap terlindungi, meski data berada di luar wilayah yurisdiksi.
“Ini soal posisi tawar. Indonesia harus jadi pelaku aktif, bukan sekadar objek dalam diplomasi digital dunia,” lanjutnya.
Selain menjaga netralitas digital di tengah rivalitas AS-Tiongkok, Indonesia juga harus memastikan bahwa pengelolaan data memberikan manfaat ekonomi bagi bangsa. Data warga Indonesia sangat bernilai sebagai bahan baku kecerdasan buatan dan ekonomi digital. Tanpa perlindungan dan pengelolaan yang baik, data ini hanya akan dieksploitasi oleh asing dan dikembalikan ke Indonesia dalam bentuk produk berbayar.
Di tengah wacana transfer data ini, Pratama menekankan pentingnya penguatan infrastruktur digital nasional, pengembangan teknologi lokal, dan investasi pada riset serta talenta digital Indonesia.
“Transfer data harus menjadi jalan untuk alih teknologi, bukan ketergantungan digital,” tegas Pratama.
Kesepakatan ini, katanya, bukan garis akhir, melainkan awal dari perjuangan panjang membangun tata kelola data nasional yang berdaulat, adaptif, dan berkeadilan.