- Oleh MC KAB SLEMAN
- Rabu, 28 Mei 2025 | 17:14 WIB
: Asisten Deputi Bidang Pengurangan Risiko Bencana Kemenko PMK, Andre Notohamijoyo melakukan kunjungan lapangan ke Sekolah Air Hujan (SAH) Banyu Bening, di Dusun Tempursari, Desa Sardonoharjo, Kecamatan Ngaglik, Sleman, pada Minggu (22/6/2025)/ MC Sleman.
Oleh MC KAB SLEMAN, Senin, 23 Juni 2025 | 15:20 WIB - Redaktur: Jhon Rico - 175
Sleman, InfoPublik- Dalam rangka memperkuat koordinasi dan sinkronisasi program pengurangan risiko bencana hidrometeorologi kering, Asisten Deputi Bidang Pengurangan Risiko Bencana Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Andre Notohamijoyo melakukan kunjungan lapangan ke Sekolah Air Hujan (SAH) Banyu Bening, di Dusun Tempursari, Desa Sardonoharjo, Kecamatan Ngaglik, Sleman, pada Minggu (22/6/2025).
Andre Notohamijoyo menyampaikan apresiasi tinggi atas inisiatif lokal ini dan menyebutnya sebagai contoh konkret dari solusi adaptif dan berbasis budaya dalam menghadapi ancaman bencana kekeringan dan perubahan iklim.
“Sekolah Air Hujan ini bukan sekadar teknologi, tapi tentang kesadaran dan budaya baru dalam menghadapi krisis air dan perubahan iklim,” kata Andre.
Ia juga menambahkan bahwa Kemenko PMK akan terus mendorong sinergi nasional dengan mengedepankan model pengurangan risiko bencana berbasis masyarakat, seperti yang diterapkan oleh komunitas Banyu Bening.
Kepala Sekolah Air Hujan Banyu Bening, Kamaludin, menyampaikan bahwa gerakan konservasi air hujan ini lahir dari keresahan masyarakat pasca-erupsi Gunung Merapi pada 2010–2011.
Dari krisis tersebut, jelas dia, tercetus inisiatif lokal yang kini berkembang menjadi gerakan pelestarian sumber daya air berbasis masyarakat.
“Keresahan itu menjadi titik balik. Gerakan panen air hujan kami lahir dari kesadaran kolektif untuk menjaga sumber daya air secara mandiri,” ujar Kamaludin.
Sejak 2012, gerakan ini telah berkembang dari wilayah barat Merapi hingga perbatasan Yogyakarta–Jawa Tengah, bahkan sempat mendapat kunjungan dari Presiden RI pada tahun 2019.
Menurut dia, gerakan ini juga diperkuat oleh dukungan akademisi, seperti Prof. Agus Maryono dari Universitas Gadjah Mada (UGM), yang menekankan potensi air hujan sebagai sumber air utama.
“Tidak ada air kemasan sekalipun yang bisa menandingi kemurnian air hujan,” tandas Kamaludin.
Dalam kesempatan tersebut, komunitas Banyu Bening juga membagikan filosofi air sebagai bentuk refleksi spiritual dan ekologis.
“Kalau 10 liter saja kita bawa, sudah berat. Tapi triliunan ton air digantung di langit oleh kekuatan-Nya. Itulah tanggung jawab kita—untuk tidak menyia-nyiakannya,” ujar dia.
Kunjungan ini menegaskan bahwa solusi atas tantangan perubahan iklim tidak harus selalu bersifat top-down. Justru ketika komunitas diberdayakan dan pemerintah hadir sebagai mitra, maka akan lahir langkah-langkah konkret yang berdampak langsung dan berkelanjutan.
(Adnan Nurtjahjo/KIM Pararta Guna Gamping)