- Oleh MC KAB MALUKU TENGGARA
- Sabtu, 30 Agustus 2025 | 23:27 WIB
: Perjuangan Sengit Petani Bawang Merah Yafawun Melawan Cuaca dan Pasokan. Foto : Dani
Oleh MC KAB MALUKU TENGGARA, Rabu, 27 Agustus 2025 | 19:07 WIB - Redaktur: Tri Antoro - 49
Langgur, InfoPublik – Petani bawang merah di Ohoi Yafawun, Kecamatan Kei Kecil Timur, Kabupaten Maluku Tenggara, tengah menghadapi masa sulit. Produksi bawang merah yang pada 2018 sempat mencapai puncak kejayaan dengan luas lahan 35 hektar, kini merosot drastis menjadi hanya 1 hektar pada 2025.
“Puncak produksi itu tahun 2018, luasannya sampai 35 hektar. Tapi karena bibit susah dan mahal, produksi berikutnya turun drastis,” ujar anggota Kelompok Tani Gapoktan Maren, Tarsisius Tharob, pada Rabu (27/8/2025).
Perjalanan para petani ibarat rollercoaster. Pada 2023, mereka sempat mendapat dukungan 2 ton bibit dari Bank Indonesia Provinsi Maluku, ditambah 2 ton dari dana desa pada 2024. Namun, cuaca ekstrem menggagalkan lebih dari 90 persen panen.
“Kami sangat terpukul. Tahun 2024 itu hampir habis semua karena hujan dan panas yang tidak menentu,” kenang Tarsisius.
Meski demikian, ia mengakui bahwa musim tanam 2023 menjadi periode terbaik. Faktor musim yang sesuai serta ketersediaan pupuk mendukung produksi yang menjanjikan. “Itu masa paling baik. Kami bisa lihat bawang merah lokal benar-benar potensial,” katanya.
Sayangnya, tantangan klasik terus membayangi. Selain cuaca tidak menentu, petani kerap menghadapi kelangkaan pupuk bersubsidi yang datang terlambat. “Subsidi pupuk ada, tapi saat dibutuhkan tidak tersedia. Kadang sampai panen, pupuk belum datang,” keluhnya.
Masalah air pun menjadi kendala besar. Bantuan sumur dangkal yang ada tidak cukup memenuhi kebutuhan pengairan, sehingga tanaman bawang yang membutuhkan banyak air sering kesulitan bertahan.
Di sisi lain, meski bawang merah Yafawun memiliki aroma dan rasa khas yang disukai konsumen, produksinya tidak mampu bersaing dengan bawang dari luar daerah yang mendominasi pasar Langgur dan Tual.
“Konsumen sering bilang bawang kami lebih bagus. Tapi karena jumlahnya sedikit, kami belum bisa menjawab kebutuhan pasar,” kata Tarsisius.
Namun, semangat petani belum padam. Tahun 2025, dengan keterbatasan yang ada, mereka memilih mengusahakan bibit sendiri di lahan seluas 1 hektar. Mereka optimistis tanah subur Yafawun serta masa tanam singkat, sekitar tiga bulan, adalah modal kuat untuk kembali bangkit.
“Kondisi tanah kami sangat mendukung. Kalau ada dukungan bibit, pupuk, dan air yang cukup, bawang merah lokal bisa berkembang dan menyaingi produk luar,” tegasnya.
Bagi para petani, perjuangan ini lebih dari sekadar produksi, melainkan upaya mempertahankan warisan leluhur yang hampir padam. Kini, harapan mereka bergantung pada dukungan berkelanjutan agar potensi besar bawang merah Yafawun bisa terwujud.
(MC.Maluku Tenggara/Adolof Labetubun)