- Oleh Wandi
- Kamis, 28 Agustus 2025 | 23:51 WIB
: Ketua DPR RI Puan Maharani saat memimpin Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR-DPD RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (15/8/2025). (Amiriyadi/InfoPUblik)
Oleh Wandi, Jumat, 15 Agustus 2025 | 12:34 WIB - Redaktur: Kristantyo Wisnubroto - 134
Jakarta, InfoPublik – Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR-DPD RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jumat (15/8/2025), bukan hanya menjadi agenda rutin kenegaraan. Di ruang rapat yang dipenuhi para wakil rakyat itu, suara Ketua DPR RI Puan Maharani menggaung, mengajak bangsa ini menatap demokrasi bukan sekadar prosedur, melainkan ruh kebersamaan.
Dengan intonasi yang tenang namun tegas, Puan Maharani membuka pidatonya dengan pengakuan sederhana namun penuh makna: nasib dan ketetapan memang berada di tangan Tuhan Yang Maha Esa. Namun, lanjutnya, manusia diberi akal dan hati untuk berusaha menentukan arah. Dalam konteks demokrasi, itu berarti rakyat berhak dan berkewajiban ikut menentukan perjalanan bangsanya.
Puan tidak segan melakukan otokritik. Ia mengingatkan bahwa demokrasi Indonesia, meski telah melalui berbagai pemilu, belum sepenuhnya sempurna. “Kita harus terus memperbaiki dan menyempurnakannya,” ucapnya. Baginya, demokrasi yang diidamkan bukanlah demokrasi yang diwarnai intervensi berlebihan atau sekadar formalitas, melainkan yang memberi kesempatan setara bagi semua warga negara.
Di hadapan para anggota DPR, DPD, dan MPR, Puan mengajak untuk membangun demokrasi yang mampu menghidupkan harapan rakyat. Bukan demokrasi yang berhenti pada hitungan suara di bilik pemilu, tetapi yang tumbuh dalam ruang dialog, di balai desa, bahkan di dapur rakyat.
“Keputusan harus lahir dari kesadaran bersama, bukan hanya dari kesempatan yang diplintir-plintir,” tegasnya. Pernyataan ini menjadi sorotan karena menyinggung praktik politik yang sering kali hanya mementingkan momentum kekuasaan ketimbang aspirasi masyarakat luas.
Baginya, rakyat adalah pemilik kedaulatan yang sah. Dalam demokrasi, mereka harus memiliki ruang yang luas untuk berserikat, berkumpul, menyampaikan pendapat, dan menunjukkan bukti. Demokrasi yang sehat, menurut Puan, bukan hanya memberi ruang untuk bersuara, tetapi juga memastikan suara itu didengar dan ditindaklanjuti.
Menariknya, Puan juga menyoroti fenomena kritik kreatif di era digital. Ia menyebut bagaimana anak muda menggunakan istilah “Indonesia Gelap”, menyebut “Negara Konoha”, atau bahkan mengibarkan simbol “Bendera One Piece” sebagai bentuk satire politik. Semua itu, baginya, adalah sinyal bahwa kritik tidak lagi disampaikan dalam bentuk konvensional, melainkan melalui bahasa yang dekat dengan budaya populer.
“Di balik setiap kata ada pesan, di balik setiap pesan ada keresahan, dan di balik keresahan ada harapan,” ujarnya. Kalimat ini mendapat respons hangat dari para peserta sidang, mengingatkan bahwa kritik bukan untuk dijauhi, melainkan untuk diolah menjadi kebijakan yang lebih baik.
Puan juga mengingatkan bahwa demokrasi Pancasila menuntut musyawarah dan hikmat kebijaksanaan, sebagaimana diamanatkan sila keempat. Ia menekankan bahwa partai politik sebagai pilar demokrasi tidak boleh kehilangan nilai perjuangan. “Partai tanpa nilai perjuangan akan membuat kekuasaan kehilangan arah dan makna bagi rakyat,” katanya.
Ia mengajak partai politik untuk menjadi rumah ide dan perjuangan, bukan sekadar kendaraan kekuasaan. Dalam pandangannya, sistem politik yang sehat membutuhkan partai yang mampu melahirkan pemimpin berpihak pada rakyat dan siap mengambil risiko demi kepentingan bangsa.
Pidato Puan juga menyinggung perlunya evaluasi sistem pemilu. Ia mengingatkan bahwa sistem yang tidak tepat dapat mendistorsi suara rakyat. Oleh karena itu, penyempurnaan sistem politik menjadi agenda penting agar demokrasi tidak hanya terlihat sehat di permukaan, tetapi juga berfungsi dengan baik di dalam.
Di tengah gempuran tantangan global, Puan menyatakan keyakinannya bahwa demokrasi Indonesia dapat tumbuh lebih matang jika terus berpijak pada nilai-nilai Pancasila. “Demokrasi kita bukan hanya tentang ‘saya’, tetapi tentang ‘kita’—kita yang berdaulat, sejahtera, dan berkebudayaan,” katanya, menegaskan semangat gotong royong yang menjadi jati diri bangsa.
Ia menutup pidatonya dengan ajakan untuk menjaga persatuan, menghargai perbedaan, dan menyalakan optimisme. Bagi Puan, demokrasi yang kokoh adalah yang mengakar di hati rakyat dan menyatu dengan kehidupan sehari-hari mereka.
Saat sidang berakhir, gema kata-kata itu masih terasa di ruang parlemen. Pesan yang dibawa bukan sekadar seruan politis, tetapi undangan untuk membangun demokrasi yang benar-benar hidup—yang tidak berhenti pada kertas suara, tetapi menyala di setiap langkah rakyat Indonesia.