- Oleh Tri Antoro
- Minggu, 31 Agustus 2025 | 07:14 WIB
: Menteri Agama RI Nasaruddin Umar saat menyampaikan doa dalam Pembukaan Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR-DPD RI 2025 di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (15/8/2025). (Foto: Amiriyadi/InfoPublik)
Oleh Wandi, Jumat, 15 Agustus 2025 | 16:44 WIB - Redaktur: Kristantyo Wisnubroto - 337
Jakarta, InfoPublik – Jumat pagi (15/8/2025), suasana Gedung Nusantara di Kompleks Parlemen, Senayan, tak hanya diwarnai formalitas politik. Pada pembukaan Masa Persidangan I DPR Tahun Sidang 2025–2026, Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar membawa hadirin sejenak keluar dari hiruk pikuk politik untuk menyelami ruang spiritual, melalui doa panjang yang penuh refleksi dan peringatan moral.
Suara Nasaruddin tenang, namun sarat makna. Di hadapan Presiden RI, pimpinan lembaga negara, anggota MPR/DPR/DPD RI, dan tamu undangan, ia membuka pidatonya dengan permohonan agar bangsa ini selalu diberi kekuatan menjaga amanah para pendiri republik. Bagi Nasaruddin Umar, menjaga cita-cita bangsa tak hanya soal kebijakan, melainkan juga soal kesadaran moral yang mengikat setiap insan.
"Berikan kekuatan kepada kami untuk mengembalikan warisan amanah dan cita-cita luhur para pendiri bangsa kami," ucapnya. Kalimat itu menggema di ruang sidang, mengajak semua yang hadir untuk merenung.
Ia juga mengingatkan bahwa ancaman terbesar bagi bangsa ini bukan hanya dari luar, tetapi juga dari dalam, berupa perpecahan, kebencian, dan krisis kepercayaan antarwarga negara. "Jauhkan kami dari berbagai pilihan, bencana, dan perpecahan yang dapat melepaskan sendi-sendi kekuatan bangsa kami," lanjutnya.
Doa tersebut tidak sekadar susunan kata religius. Ia menjelma menjadi narasi kebangsaan, membingkai sidang pembukaan DPR dengan perspektif yang jarang muncul: bahwa politik dan spiritualitas seharusnya saling menguatkan.
Nasaruddin mengajak seluruh pemimpin dan rakyat untuk menyadari panjangnya perjalanan dan besarnya tantangan yang dihadapi bangsa ini. “Masih panjang jalan yang harus kami tempuh, masih besar tantangan yang kami hadapi, dan masih beragam hambatan yang harus kami lalui,” tuturnya, seakan menggarisbawahi bahwa demokrasi bukanlah tujuan akhir, melainkan proses berkesinambungan.
Ia mengutip pesan religius yang menegaskan hubungan antara ketakwaan dan jalan keluar dari masalah. “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan jalan keluar,” serunya, menekankan pentingnya moralitas dalam menghadapi tantangan kebangsaan.
Doa berlanjut, menyentuh dimensi sejarah bangsa. Ia memohon agar para pemimpin senantiasa mengingat pengorbanan para leluhur dan pahlawan, yang dengan darah dan tenaga mempertahankan kemerdekaan. "Perkenalkan kami itu selalu benar dan menjawabkan para leluhur, para pahlawan semua bangsa yang gugur membela negeri ini," ujarnya.
Ada pula pesan yang menembus batas generasi: agar negeri ini selalu menjadi tanah yang indah, penuh keberkahan, dan menjadi tempat rakyat hidup dalam persaudaraan. “Negeri indah, penuh berkat, negeri kemampuan, negeri yang berkata-kata baik,” ungkapnya, menggambarkan visi moral tentang Indonesia yang harmonis.
Suasana sidang hening ketika doa sampai pada bagian penutup. Para hadirin menundukkan kepala, sebagian terlihat memejamkan mata, menyimak bait-bait yang sarat makna itu. Tidak ada sorak-sorai, hanya keheningan yang mengikat.
Di luar teks formal, doa tersebut juga menjadi pengingat tentang pentingnya ruang spiritual dalam perpolitikan nasional. Di tengah perdebatan kebijakan dan perbedaan pandangan, ada kebutuhan mendasar untuk kembali pada nilai-nilai yang menyatukan.
Momentum itu menjadi unik karena jarang sekali sidang politik setinggi ini dibuka dengan doa yang panjang dan mendalam. Lazimnya, doa dilakukan singkat dan formal. Namun kali ini, Nasaruddin memanfaatkan panggung untuk menanamkan pesan kebangsaan yang dibalut spiritualitas.
Para analis politik melihat momen ini sebagai sinyal bahwa pemerintah ingin menguatkan narasi moral dalam pembangunan. Bukan hanya mengejar target ekonomi atau infrastruktur, tetapi juga membangun kesadaran kolektif akan persatuan.
Beberapa anggota DPR yang ditemui usai sidang mengaku tersentuh. “Doa tadi mengingatkan kami bahwa tugas di parlemen bukan sekadar membuat undang-undang, tapi juga menjaga persatuan bangsa,” ujar seorang legislator senior.
Pengamat hubungan agama dan politik menilai, kehadiran doa semacam ini penting untuk membumikan politik yang humanis. “Kita butuh narasi politik yang memberi harapan, bukan sekadar retorika kekuasaan. Doa tadi menegaskan itu,” kata seorang peneliti di bidang sosiologi politik.
Dalam konteks perjalanan demokrasi Indonesia, doa di awal sidang ini dapat dibaca sebagai penegasan bahwa bangsa ini sedang berada pada titik refleksi. Pemilu sudah usai, pemerintahan baru bersiap bekerja, namun tantangan perpecahan sosial, polarisasi politik, dan ketidakpercayaan publik masih mengintai.
Nasaruddin seakan mengingatkan bahwa semua ini hanya bisa diatasi jika kita kembali pada kesadaran bersama: menjaga warisan para pendiri bangsa, menjauhi kebencian, dan memupuk ketakwaan. Nilai-nilai ini, jika dijalankan secara konsisten, bisa menjadi jangkar di tengah badai perubahan.
Ketika doa usai, tepuk tangan terdengar, bukan sebagai formalitas, tetapi sebagai tanda apresiasi. Di luar ruang sidang, wartawan, staf parlemen, hingga tamu undangan masih memperbincangkannya. Sebagian menyebutnya sebagai “doa yang menyentuh”, sebagian lagi melihatnya sebagai “pidato moral yang dibungkus doa”.
Pada akhirnya, doa di ruang parlemen hari itu menjadi pengingat bahwa politik tak selalu harus keras, kaku, dan penuh debat. Ia juga bisa menjadi ruang untuk menguatkan hati, memupuk kesadaran, dan menyalakan kembali harapan rakyat.