Guncangan Global makin dalam, Indonesia Serukan Arsitektur Keuangan Baru di G20

: Foto: Dok. G20


Oleh Ismadi Amrin, Senin, 21 Juli 2025 | 14:32 WIB - Redaktur: Untung S - 273


Jakarta, InfoPublik - Perekonomian global tengah menghadapi tekanan berlapis akibat perlambatan pertumbuhan, ketidakpastian geopolitik, dan krisis iklim yang memburuk. Dalam laporan terbaru Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF), disebutkan bahwa tantangan pembangunan global kini jauh lebih kompleks dibanding dekade sebelumnya.

Laju pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan hanya mencapai 2,1 persen pada 2025, turun dari proyeksi sebelumnya 2,6 persen, didorong oleh ketegangan perdagangan, kenaikan suku bunga global, dan meningkatnya biaya adaptasi terhadap perubahan iklim.

Perekonomian dan pembangunan global saat ini setidaknya menghadapi tiga tantangan utama. Pertama, krisis utang negara berkembang. Lebih dari 60 negara berpendapatan rendah kini menghadapi risiko gagal bayar. Menurut IMF, beban utang publik global telah mencapai 92 persen dari PDB dunia, tertinggi sejak pasca-pandemi. Negara-negara di Afrika dan Asia Selatan menjadi yang paling rentan karena kombinasi pendapatan pajak rendah dan suku bunga tinggi.

Kedua, ketimpangan ekonomi dan sosial. Ketimpangan pendapatan global terus melebar. Laporan Oxfam menyebutkan 1 persen populasi terkaya menguasai hampir 50 persen kekayaan baru yang tercipta dalam lima tahun terakhir, sementara jutaan orang kembali jatuh ke bawah garis kemiskinan ekstrem akibat inflasi dan hilangnya pekerjaan.

Ketiga, krisis iklim dan transisi energi. Perubahan iklim memperberat beban pembangunan. Biaya kerusakan akibat bencana iklim pada 2024 tercatat lebih dari USD 380 miliar secara global. Namun, investasi untuk transisi energi dan adaptasi masih jauh dari cukup. Kesenjangan pembiayaan iklim disebut mencapai USD 4 triliun per tahun hingga 2030.

Indonesia termasuk negara yang terdampak tantangan global tersebut. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut tekanan fiskal akibat pembiayaan transisi energi, ketahanan pangan, dan pembangunan SDM menjadi tantangan besar ke depan.

“Di tengah ketidakpastian global, kami harus memastikan pembangunan tetap berlanjut, inklusif, dan berkelanjutan,” ujarnya dalam forum G20 Finance Ministers Meeting di Afrika Selatan pekan lalu.

Indonesia juga menghadapi risiko aliran modal keluar jika The Fed kembali menaikkan suku bunga, yang bisa memperlemah rupiah dan menekan APBN. Pemerintah kini mengandalkan instrumen seperti green sukuk, pembiayaan inovatif, serta upaya reformasi birokrasi untuk menjaga daya saing.

Menteri Keuangan (Menkeu) Republik Indonesia, Sri Mulyani Indrawati menghadiri Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral (Finance Ministers’ and Central Bank Governors/FMCBG) G20 ketiga di bawah Presidensi Afrika Selatan.

Pada pertemuan yang berlangsung sejak 17-18 Juli 2025 ini, para Menkeu dan Gubernur Bank Sentral membahas berbagai isu yang menjadi prioritas negara G20 dan perlu mendapatkan perhatian bersama untuk menghadapi tantangan global saat ini. Isu-isu yang diangkat dalam pertemuan tersebut utamanya yakni ekonomi global, arsitektur keuangan internasional, keuangan berkelanjutan, infrastruktur, sektor keuangan, pajak internasional, dan kesehatan global.

Dalam rangkaian agenda utama pertemuan ketiga G20 FMCBG Afrika Selatan yang membahas ekonomi global dan tantangan terkini, Para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral menyoroti ketidakpastian ekonomi global akibat konflik bersenjata, tensi geopolitik, fragmentasi perdagangan, utang publik tinggi, dan kejadian iklim ekstrem.

Di tengah tekanan fiskal, disepakati pentingnya menjaga keberlanjutan fiskal sambil mendorong investasi dan reformasi struktural untuk memperkuat pertumbuhan jangka panjang.

Menkeu menyampaikan bahwa di tengah ketidakpastian global yang terus berlanjut, Indonesia terus mendorong reformasi struktural, berinvestasi dalam ketahanan pangan dan energi, serta melindungi kelompok masyarakat yang paling rentan. Otoritas fiskal dan moneter terus bekerja secara selaras, termasuk melalui skema berbagi beban (burden sharing), untuk menjaga stabilitas dan mendukung pemulihan ekonomi.

Hubungan ekonomi global sering dipersepsikan sebagai permainan zero-sum, dimana keuntungan yang diperoleh oleh satu pihak terjadi dengan mengorbankan pihak lain. Persepsi semacam ini harus segera ditanggapi secara serius.

“Perdagangan dan investasi seharusnya berfungsi sebagai instrumen untuk mencapai kemajuan bersama, yakni menciptakan nilai tambah yang dapat dirasakan oleh seluruh pihak yang terlibat.” ujar Menkeu.

Selain itu Menkeu juga menyampaikan bahwa pertumbuhan yang tangguh dimulai dari dalam negeri, terutama di tengah ekonomi dan lingkungan global yang menciptakan lebih banyak risiko. Indonesia mengatasi ketidakseimbangan dengan menggunakan instrumen fiskal secara hati-hati dan terukur, bersifat countercyclical, sebagai peredam guncangan, dan mendorong reformasi struktural.

“Kami bekerja sama dengan otoritas moneter untuk menciptakan kepercayaan dan stabilitas. Inflasi 1,6 persen, defisit fiskal 2,5 persen,” jelas Menkeu.

Terkait dengan arsitektur keuangan internasional, Menkeu menjelaskan bahwa saat ini diperlukan sebuah arsitektur keuangan yang benar-benar mencakup seluruh spektrum perekonomian, baik negara berpenghasilan rendah, negara berkembang, maupun negara maju. Saat ini Bank Pembangunan Multilateral (Multilateral Development Banks/MDBs) tengah mengimplementasikan Peta Jalan MDB G20 (G20 MDB Roadmap) serta rekomendasi-rekomendasi dari Laporan CAF (Capital Adequacy Framework).

Munculnya teknologi keuangan, mulai dari aset kripto hingga mata uang digital, menawarkan potensi besar dalam hal kecepatan dan efisiensi. Namun, perkembangan ini juga membawa risiko-risiko baru yang tidak dapat diabaikan. Oleh karena itu, situasi ini menuntut negara-negara G20 untuk meninjau kembali fondasi dari arsitektur keuangan internasional guna memastikan bahwa sistem tersebut tetap stabil, inklusif, dan relevan dalam menghadapi dunia yang terus berkembang dengan cepat.

Pada sesi keuangan berkelanjutan, para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral menekankan perlunya koordinasi global dalam arsitektur keuangan berkelanjutan, mendorong interoperabilitas dan efisiensi pembiayaan iklim, termasuk penguatan aksi adaptasi, ketahanan, dan rencana transisi menuju pembangunan rendah karbon.

Potensi pasar karbon sukarela yang kredibel disambut positif oleh para menteri dan gubernur, termasuk upaya harmonisasi data melalui Carbon Credit Data Model (CCDM). Roadmap Keuangan Berkelanjutan G20 juga akan dilanjutkan secara fleksibel dan sukarela.

Indonesia sendiri mengalokasikan >50 persen anggaran iklim (USD2,5 miliar/tahun) untuk adaptasi, termasuk pinjaman UMKM hijau, asuransi pertanian, dan infrastruktur tahan iklim. Indonesia juga meluncurkan Disaster Pooling Fund sebagai bagian dari strategi pendanaan risiko bencana.

Sebagai paru-paru dunia (125 juta hektar hutan tropis), Indonesia juga telah meluncurkan IDXCarbon, sebuah bursa karbon nasional yang terbuka bagi partisipasi global dan sesuai standar internasional. Platform nasional Indonesia pun menyelaraskan upaya publik-swasta untuk meningkatkan efektivitas pendanaan iklim.

“Namun, keuangan publik saja tidak akan cukup, kita perlu menarik modal swasta dan pasar karbon adalah salah satu alat utamanya.” tegas Menkeu.

Pada isu terkait infrastruktur, para anggota G20 menyatakan bahwa peningkatan investasi infrastruktur yang berkualitas sangat penting untuk mendukung pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang lebih cepat dan berkelanjutan.

Untuk itu delegasi mencatat kemajuan yang telah dicapai dalam pengembangan kerangka kerja untuk praktik perencanaan dan persiapan yang efektif, laporan tentang peningkatan langkah-langkah de-risking pembiayaan campuran, dan perangkat untuk memajukan proyek infrastruktur lintas negara. Selain itu delegasi juga mendukung Practice Guide on Leveraging Project-Level Data and Digitising the Pipeline, serta catatan mengenai Improving the Accessibility and Availability of Key Market Data, yang bersifat sukarela dan tidak mengikat.

Sementara itu, dalam isu terkait perpajakan internasional, Menkeu menyampaikan bahwa arsitektur perpajakan internasional yang adil, efektif, dan stabil bukan hanya soal pemerataan global melainkan prasyarat bagi ketahanan dan pembangunan berkelanjutan.

Dalam konteks Indonesia, saat ini pemerintah telah mengadopsi peraturan yang selaras dengan Pajak Minimum Global di bawah Pilar Dua dan dalam tahap akhir ratifikasi Aturan Subjek Pajak (Subject-to-Tax Rule /STTR) melalui negosiasi bilateral.

Di sisi lain, Menkeu menaruh perhatian pada penundaan dalam finalisasi Pilar Satu ditambah dengan maraknya pajak layanan digital unilateral, berisiko memecah belah sistem dan melemahkan kepastian perpajakan. Para delegasi mendiskusikan upaya untuk menyempurnakan implementasi Pillar Two dan merespons tantangan digitalisasi ekonomi secara adil dan praktis.

Para anggota menyambut baik laporan OECD dan Inclusive Framework (IF) tentang transparansi pajak, real estate cross-border, serta penguatan kapasitas Domestic Resource Mobilisation (DRM). Disamping itu, para anggota juga mendukung inisiatif untuk memperkuat IF dan proses penyusunan UN Framework Convention on International Tax Cooperation, dengan tetap menghindari tumpang tindih upaya global yang sudah ada.

Dalam sesi mengenai isu sektor keuangan dan inklusi keuangan, para Menkeu dan Gubernur Bank Sentral menegaskan kembali komitmen untuk mengatasi kerentanan dan mendorong sistem keuangan yang terbuka, tangguh, dan stabil yang mendukung pertumbuhan ekonomi, dan didasarkan pada implementasi yang konsisten, menyeluruh, dan tepat waktu dari semua reformasi dan standar internasional yang disepakati, termasuk Basel III.

Terlihat adanya peningkatan peran Lembaga Keuangan Non-Bank (LKNB) di negara-negara berkembang dan maju, dan mendukung upaya Dewan Stabilitas Keuangan (Financial Stability Board’s/FSB) untuk menangani ketersediaan dan pelaporan data Lembaga Keuangan Non-Bank, kualitas, penggunaan, dan pembagian informasi. Selain itu juga, para anggota G20 mendukung rekomendasi FSB yang baru saja difinalisasi untuk mengatasi risiko sistemik dari leverage LKNB dan mendorong implementasi oleh yurisdiksi.

Di sela-sela pertemuan utama, Menkeu RI juga berkesempatan menghadiri pertemuan bilateral dengan Menteri Keuangan Australia, Jim Chalmers, Menteri Keuangan Kanada, François-Philippe Champagne, dan Menteri Keuangan Arab Saudi, Mohammed Abdullah Al-Jadaan. Pertemuan berfokus pada pembahasan isu-isu strategis dan kerja sama multilateral yang krusial bagi stabilitas dan pertumbuhan ekonomi global.

Pada pertemuan dengan Menteri Keuangan Australia, kedua Menkeu berdiskusi mengenai dinamika ekonomi global saat ini, termasuk kebijakan yang ditempuh oleh kedua negara dalam memitigasi dampak tarif perdagangan terhadap stabilitas ekonomi domestik masing - masing negara. Selain itu, keduanya juga membahas penguatan kerja sama perdagangan dan investasi terutama di bidang pangan dan energi.

Sementara dalam pertemuan bilateral bersama Menteri Keuangan Kanada, isu mengenai dinamika perekonomian terutama tantangan perdagangan saat ini menjadi topik yang dibahas, selain peluang kerja sama di sektor energi, investasi infrastruktur di Indonesia, dan peningkatan ekspor produk pertanian Kanada ke Indonesia. Kemudian dalam diskusi dengan Menkeu Arab Saudi, membahas mengenai isu kerja sama kedua negara seperti investasi dan peningkatan jasa untuk haji dan umrah. Selain itu, kedua Menkeu juga membahas mengenai pentingnya peran G20 dalam kondisi geopolitik saat ini, dimana keduanya sepakat bahwa G20 perlu kembali ke tujuan awal menjadi forum yang mengedepankan multilateralisme daripada unilateralisme yang semakin meningkat saat ini.

Dalam isu mengenai koordinasi keuangan dan kesehatan, para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral menekankan pentingnya efisiensi belanja kesehatan untuk keberlanjutan sistem kesehatan dan kualitas layanan, mobilisasi sumber daya domestik, dan koordinasi pendanaan domestik dan eksternal untuk pencegahan dan kesiapsiagaan pandemi. Para anggota menyambut baik pelaksanaan simulasi pembiayaan respons pandemi lintas kementerian/instansi dan laporan Framework for Economic Vulnerabilities and Risks (FEVR) dan Operational Playbook for Pandemic Response versi terbaru. Kerja sama dengan Pandemic Fund dan pendanaan kesehatan global lainnya terus diperkuat.

Pertemuan ketiga G20 FMCBG di bawah Presidensi Afrika Selatan menegaskan komitmen Indonesia untuk terus memperkuat sinergi global yang lebih adil untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Melalui pendekatan pembiayaan inovatif, mendorong reformasi atas kinerja MDB, serta memperkuat sinergi lintas negara, Indonesia terus berupaya untuk proaktif dalam mendorong agenda transformasi ekonomi global menuju pertumbuhan yang inklusif, berketahanan, dan berkelanjutan sesuai prioritas pembangunan nasional.

Meski tantangan berat, peluang tetap terbuka. Digitalisasi, investasi hijau, dan kemitraan lintas negara disebut sebagai motor utama pertumbuhan ke depan. Namun, tanpa kebijakan yang inklusif dan pendanaan yang memadai, pertumbuhan ini dikhawatirkan tidak akan merata.

Laporan World Economic Forum menyebutkan bahwa investasi di sektor teknologi hijau dan digital di negara berkembang bisa menciptakan ratusan juta lapangan kerja baru hingga 2035, jika disertai pelatihan dan perlindungan sosial.

Ketika dunia menghadapi tekanan multidimensi, kolaborasi internasional, pembiayaan inklusif, dan reformasi struktural menjadi kunci untuk menjaga laju pembangunan. Tanpa itu, dunia berisiko jatuh dalam dekade stagnasi baru—yang tidak hanya menghambat pertumbuhan, tapi juga memperdalam ketimpangan global.

 

Berita Terkait Lainnya

  • Oleh Ismadi Amrin
  • Selasa, 15 Juli 2025 | 14:51 WIB
Indonesia: Pasar Strategis dan Mitra Masa Depan Ekonomi Global
  • Oleh MC PROV GORONTALO
  • Rabu, 2 Juli 2025 | 14:27 WIB
Gorontalo Dukung Target 30 Juta Hektar Kawasan Konservasi Perairan
  • Oleh Ismadi Amrin
  • Sabtu, 24 Mei 2025 | 09:16 WIB
APBN 2025 Tetap Optimal, Pijakan Menapaki 2026
-->