- Oleh Eko Budiono
- Jumat, 29 Agustus 2025 | 18:43 WIB
: Ilustrasi tambang batubara. Foto: ANTARA
Oleh Pasha Yudha Ernowo, Selasa, 15 Juli 2025 | 21:06 WIB - Redaktur: Untung S - 388
Jakarta, InfoPublik – Di tengah ketegangan geopolitik, disrupsi rantai pasok global, dan perang dagang yang terus bereskalasi, Indonesia justru mencetak langkah maju signifikan dengan masuknya investasi jumbo senilai USD10 miliar di sektor energi dan logam strategis.
Investasi itu menjadi sinyal kuat bahwa Indonesia bukan hanya tetap relevan di peta ekonomi global, tetapi mulai memainkan peran strategis baru dalam transformasi energi dunia.
Kolaborasi antara ACWA Power (Arab Saudi), Danantara Indonesia, dan Pertamina ini mencakup tiga proyek penting: Pembangkit gas-to-power rendah emisi, Produksi green hydrogen, dan Fasilitas desalinasi berbasis energi terbarukan.
Ketiganya bukan sekadar proyek energi biasa, melainkan bagian dari evolusi industrialisasi nasional berbasis energi bersih, hilirisasi, dan ketahanan sumber daya.
“Ini bukan sekadar proyek energi. Ini momentum posisi tawar baru Indonesia di peta energi dunia,” tegas Fakhrul Fulvian, Direktur Insight Kadin Indonesia Institute, dalam keterangannya ke InfoPublik, Selasa (15/7/2025).
Berbeda dengan narasi umum bahwa krisis global melemahkan aliran investasi, Indonesia justru menjadi destinasi utama para pemodal besar di sektor strategis. Sejumlah perusahaan EPC (Engineering, Procurement, and Construction) global kini berebut kontrak pembangunan proyek LNG skala besar di Indonesia Timur, dan pelaku industri asal Tiongkok terus memperkuat peran Indonesia dalam rantai pasok aluminium global.
Kondisi ini menunjukkan bahwa ketidakpastian global telah menciptakan peluang baru, terutama bagi negara yang memiliki: Sumber daya alam melimpah, Stabilitas makro, dan Posisi geoekonomi yang menguntungkan.
Namun, menurut Kadin Indonesia Institute, arus investasi besar ini tak boleh dibiarkan mengalir tanpa arah. Perlu ada langkah konkret untuk memastikan bahwa investasi membawa manfaat jangka panjang dan mendalam.
Fakhrul Fulvian menyoroti tiga rekomendasi utama:
Kebutuhan akan regulasi yang jelas dan progresif soal kepemilikan asing, transfer teknologi, dan kontribusi terhadap ketahanan energi nasional menjadi mendesak. Roadmap ini akan menjadi panduan sekaligus filter bagi investasi berkualitas tinggi.
Hilirisasi energi dan logam — mulai dari gas, hidrogen, aluminium hingga air — tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Dibutuhkan kelembagaan lintas sektor yang menyatukan arah, insentif, serta pengelolaan ekosistem industri secara terintegrasi.
Investasi berskala besar membutuhkan skema pembiayaan di luar mekanisme konvensional. Indonesia perlu memperkuat instrumen seperti green bonds, skema co-investment publik-swasta, hingga regulasi baru agar proyek-proyek strategis bisa lebih bankable di mata investor dalam dan luar negeri.
“Tanpa kelembagaan dan pembiayaan yang siap, investasi bisa jadi hanya lewat, tidak optimum. Kita perlu berfikir jangka panjang,” ujar Fakhrul.
Kini, dunia sedang mencari mitra baru dalam rantai pasok energi, logam, dan pangan global. Konflik geopolitik antara negara-negara adidaya telah menciptakan deglobalisasi parsial, mendorong banyak negara untuk mencari alternatif sumber daya dan mitra baru yang lebih stabil dan berkomitmen pada keberlanjutan.
Indonesia, dengan sumber daya energi, nikel, bauksit, dan potensi energi terbarukan yang besar, berada di posisi yang tepat dan waktu yang tepat. Tapi, peluang ini tidak akan lama terbuka.
“Yang dibutuhkan kini: kejelasan dan ketegasan arah pembangunan dari pemerintah di tengah pergeseran global yang sedang terjadi, serta kecepatan eksekusi dari dunia usaha,” lanjut Fakhrul.
Masuknya USD 10 miliar bukan sekadar berita baik — ini adalah panggilan untuk merancang ulang strategi industri energi dan logam nasional. Dibutuhkan integrasi lintas sektor, penguatan institusi, dan terobosan dalam pembiayaan agar investasi ini benar-benar menjadi lompatan, bukan hanya geliat sesaat.
Indonesia kini tak lagi hanya sebagai objek investasi, tetapi sebagai aktor strategis dalam tatanan ekonomi baru dunia. Yang dibutuhkan selanjutnya adalah keberanian mengambil keputusan struktural dan mempercepat transformasi yang sudah di depan mata.