- Oleh Pasha Yudha Ernowo
- Rabu, 27 Agustus 2025 | 07:48 WIB
: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan dua tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi pengadaan Liquefied Natural Gas (LNG) di PT Pertamina (Persero) pada kurun 2013 hingga 2020. Penahanan dilakukan untuk mempercepat proses penyidikan dan memperkuat penegakan hukum di sektor energi nasional (Foto: Dok KPK)
Oleh Pasha Yudha Ernowo, Kamis, 7 Agustus 2025 | 16:05 WIB - Redaktur: Untung S - 366
Jakarta, InfoPublik — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan dua tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi pengadaan Liquefied Natural Gas (LNG) di PT Pertamina (Persero) pada kurun 2013 hingga 2020. Penahanan dilakukan untuk mempercepat proses penyidikan dan memperkuat penegakan hukum di sektor energi nasional.
Menurut keterangan tertulis yang diterima InfoPublik, Kamis (7/8/2025). Dua tersangka tersebut adalah HK, Direktur Gas PT Pertamina tahun 2012–2014, dan YA, yang menjabat sebagai Senior Vice President Gas & Power PT Pertamina tahun 2013–2014 serta Direktur Gas PT Pertamina tahun 2015–2018.
KPK menahan HK di Rutan Cabang Gedung C1 (Pusat Edukasi Antikorupsi), sedangkan YA ditahan di Rutan Cabang Gedung Merah Putih. Keduanya ditahan selama 20 hari, terhitung sejak 31 Juli hingga 19 Agustus 2025.
Sebelumnya, KPK telah menetapkan ketiganya sebagai tersangka bersama GKK alias KA, Direktur Utama PT Pertamina tahun 2011–2014. Kasus ini bermula dari keputusan Pertamina untuk melakukan pembelian LNG impor dari Corpus Christi Liquefaction, anak perusahaan Cheniere Energy Inc., Amerika Serikat, melalui kontrak pembelian tahun 2013 dan 2014, yang digabung menjadi satu perjanjian pada 2015. Kontrak jangka panjang tersebut berlaku selama 20 tahun (2019–2039) dengan nilai mencapai USD 12 miliar.
Berdasarkan hasil penyidikan, tersangka HK dan YA diduga memberikan persetujuan pembelian LNG tanpa didukung pedoman pengadaan, analisis teknis dan ekonomi yang memadai, kontrak back-to-back di dalam negeri, maupun rekomendasi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Bahkan, keputusan tersebut tidak disertai persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan Komisaris Pertamina.
Akibat pengambilan keputusan yang tidak didasarkan pada prinsip kehati-hatian tersebut, LNG yang dibeli tidak terserap di pasar domestik dan menyebabkan oversupply, yang pada akhirnya berdampak pada kerugian keuangan negara.
KPK juga menemukan dugaan adanya pemalsuan dokumen persetujuan direksi serta kelalaian pelaporan kepada Komisaris, termasuk dalam kegiatan perjalanan dinas ke Amerika Serikat untuk menandatangani kontrak LNG Sales and Purchase Agreement (SPA) Corpus Christi Train 2.
Akibat perbuatan tersebut, negara diduga mengalami kerugian keuangan sebesar USD 113,8 juta, sebagaimana hasil perhitungan sementara yang telah dihimpun oleh tim penyidik.
Atas perbuatannya, para tersangka disangkakan melanggar: Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dan Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
KPK menegaskan bahwa penyidikan akan terus dikembangkan untuk mengungkap pihak-pihak lain yang bertanggung jawab dalam kasus ini. Langkah ini merupakan bagian dari upaya reformasi tata kelola pengadaan energi, khususnya dalam transaksi strategis berskala internasional, guna mencegah penyalahgunaan kewenangan yang merugikan negara.