- Oleh Wahyu Sudoyo
- Senin, 25 Agustus 2025 | 21:13 WIB
: Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi. (KemenPPPA)
Oleh Juli, Jumat, 1 Agustus 2025 | 19:47 WIB - Redaktur: Kristantyo Wisnubroto - 165
Jakarta, InfoPublik – Di tengah derasnya arus teknologi dan tantangan zaman, peran keluarga kembali ditegaskan sebagai madrasah pertama dan paling utama dalam membentuk karakter anak. Sebuah pesan mendalam ini mengemuka dalam Seminar Peringatan Hari Anak Nasional 2025 bertema Menuju Generasi Qur’ani: Perlindungan dan Pemberdayaan Anak dan Perempuan sebagai Bentuk Ketahanan Keluarga.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi, mengingatkan bahwa membangun ketahanan keluarga bukanlah pilihan, melainkan keharusan jika ingin menciptakan masa depan yang aman dan penuh kasih bagi perempuan dan anak-anak Indonesia.
"Keluarga adalah benteng pertama perlindungan anak dan perempuan. Tapi ketika keluarga rapuh—karena pola asuh yang keliru, rendahnya literasi digital, hingga lemahnya pengawasan, anak-anak menjadi rentan terhadap kekerasan maupun eksklusi sosial,” ujarnya, seperti disampaikan dalam siaran pers, Jumat (1/8/2025).
Pernyataan itu bukan tanpa dasar. Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2024 mencatat, satu dari dua anak di Indonesia pernah mengalami kekerasan. Angka yang mencemaskan ini menjadi alarm keras bagi semua pihak: negara, masyarakat, dan terutama keluarga.
Menteri Arifah menyadari, tugas perlindungan tidak bisa diemban pemerintah sendiri. Dibutuhkan kolaborasi luas, dari organisasi masyarakat, tokoh agama, hingga komunitas akar rumput untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tumbuh kembang anak.
Salah satu langkah nyata adalah penguatan Program Ruang Bersama Indonesia (RBI) sebagai ruang aman bagi anak dan perempuan di tingkat komunitas. Di sisi lain, Kemen PPPA juga mendorong percepatan implementasi PP Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak yang disebut PP TUNAS.
“Ekosistem digital yang ramah anak harus dibangun berbasis regulasi yang kuat dan partisipasi orang tua yang aktif. Bukan sekadar membatasi akses, tapi mendampingi dan mendidik,” jelas Arifah.
Di forum yang sama, suara dari organisasi perempuan menguatkan pesan bahwa pendidikan karakter anak seharusnya dimulai dari rumah. Ketua Bidang Pendidikan Majelis Alimat Indonesia (MAI), Sururin, menyebut peran orang tua lebih dari sekadar pengasuh.
“Mereka adalah pendidik. Nilai-nilai moral, sosial, dan spiritual yang ditanamkan sejak dini itulah yang membentuk wajah masa depan bangsa,” ujarnya.
Senada dengan itu, Ketua Dewan Penasehat MAI, Dewi Motik, menekankan pentingnya pendidikan Qur’ani yang tidak hanya berhenti di hafalan. “Ajarkan makna ayat. Hayati nilainya. Terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Di situlah pendidikan spiritual keluarga berakar,” katanya.
Ketua Komnas Perempuan, Maria Ulfah Nashor, turut menyoroti pentingnya sinergi dalam pelaksanaan perlindungan yang berkelanjutan. “Peraturan sudah tersedia. Tapi pelaksanaannya membutuhkan aksi nyata dan keterlibatan semua pihak, terutama keluarga,” ujarnya.
Perlindungan anak dan pemberdayaan perempuan bukan hanya urusan negara, tapi misi kolektif yang dimulai dari ruang-ruang kecil di rumah. Dari setiap pelukan ibu, dari nasihat bijak ayah, dari waktu yang diluangkan bersama anak, di situlah tumbuh benih-benih ketangguhan.
“Jika kita ingin mencetak generasi Qur’ani yang tangguh, maka kita harus membangun keluarga yang juga Qur’ani kuat dalam cinta, pendidikan, dan perlindungan,” tutup Menteri PPPA.