- Oleh MC KAB LUMAJANG
- Sabtu, 30 Agustus 2025 | 22:45 WIB
:
Oleh MC KAB LUMAJANG, Senin, 14 Juli 2025 | 08:06 WIB - Redaktur: Tri Antoro - 17K
Lumajang, InfoPublik — Di sebuah sudut Senduro, Kabupaten Lumajang, berdiri kedai kayu beratap seng yang sederhana. Tanpa papan nama mencolok, tak ada mesin espresso mewah, apalagi barista berseragam. Tapi di tempat itulah Pak Siswanto, atau akrab disapa Pak Sis, menyeduh lebih dari sekadar kopi: ia menyeduh kesadaran dan kejujuran rasa.
“Kopi, cobalah dulu tanpa gula. Rasa sejatinya ada di situ,” ujar Pak Sis di Desa Senduro pada Minggu (13/7/2025).
Sembari menuangkan seduhan hangat ke cangkir keramik. Dalam diamnya, ia membangun satu filosofi: bahwa kesederhanaan bisa menjadi revolusi, jika dikerjakan dengan hati yang tulus.
Kedai “Kopi Lereng Semeru”, begitu para pelanggan mulai menyebutnya, bukan menjual kopi sebagai tren. Pak Sis menyajikannya sebagai cara pandang hidup. Ia membeli biji langsung dari petani kopi arabika di sekitar Senduro dan Pronojiwo, menyangrai sendiri, lalu menggiling secara manual mewakili keterhubungan yang adil dari kebun ke cangkir.
“Biji ini hasil kerja keras orang tua kita. Layak dihargai dengan seduhan yang benar,” tegasnya.
Tak pernah ia mencampur gula ke dalam kopi secara langsung. Gula selalu disajikan terpisah, sebagai pilihan, bukan keharusan. “Kita arahkan, bukan memaksa. Kalau sudah sadar, orang akan cari rasa sejatinya sendiri,” ucap Pak Sis.
Kedainya pun kini menjadi ruang belajar rasa. Pemuda desa, pelintas kota, hingga petani semuanya mampir dan mengenal bahwa kopi tak hanya tentang pahit dan manis, tapi juga proses panjang dan kejujuran yang menyertainya.
Pak Sis melihat kopi sebagai metafora kehidupan. Menurutnya, terlalu banyak orang terbiasa dengan “pemanis instan”, baik dalam minuman maupun keputusan. Maka melalui kopi murni, ia ingin mengembalikan kesadaran itu.
Ekonomi lokal pun bergerak. Dengan harga terjangkau, kedai ini turut menyambung dapur petani dan membentuk ekosistem yang berkeadilan. Ia tidak mengejar viralitas, namun perlahan menjadi tempat yang merawat karakter dan menyemai nilai.
Saat kabut turun dan suhu Senduro menyentuh belasan derajat, Pak Sis menyalakan tungku dan menyeduh kembali. Bukan hanya untuk menghangatkan tubuh, tapi untuk melanjutkan perjuangan rasa yang kini menjadi gerakan sunyi dari sebuah lereng Semeru.
(MC Kab. Lumajang/Ard/An-m)